Pernah mendengar sebuah tempat yang bernama Bujang Budu? Di negri tercinta ini banyak daerah daerah yang nama desa atau kabupatennya didapat dari sebuah legenda , semisal Banyuasin di Palembang, Banyuwangi Jawa Tengah, kota Kudus - Watu Ulo - Surabaya ( suro boyo) di Jawa Timur, Tangkuban Perahunya Jawa Barat, dan banyak lagi !
Hutan Bujang Budu yang lebat dari arah Parittiga.
Kisah Bujang Budu memang tak sedahsyat nama nama kota penting di Indonesia yang juga mendunia seperti yang disebutkan diatas, Bujang Budu hanya sebatas mendaerah saja atau cerita rakyat lokal tapi tertera pada denah kecamatan.
Bujang Budu, Dara Bengel ...
Kisah dua bersaudara makan bubur yang masih panas ( belum diangkat dari kenceng/ periuk) walau sudah masak dengan api yang masih menyala) karena tidak kuat menahan lapar. Saking panasnya maka si tertua ( Bujang Budu) segera memutuskan untuk mandi ke pematang yang letaknya persis dibelakang dangau mereka. Meski telah mencelupkan diri akan tetapi rasa suhu badan tidak berkurang, malah kian menjadi. Bukan hanya Dara Bengel tapi ikan dan segala yang hidup dalam air pemandian itu tersebut ikut menikmati rasa gelombang panas. Udang salah satunya yang terkena imbas, makanya disinilah awal cerita yang menyebabkan udang itu menjadi bungkuk dan bewarna sedikit kemerahan dikarenakan tidak tahan.Dan si adik ( Dara Bengel ) langsung berlari, lalu memeluk batang pisang. Pohon pisangpun tidak sanggup menahan hawa panas yang ditempeli oleh Dara Bengel, pohon pisang yang sedang berbuah itupun langsung lunglay. Dara Bengel beralih ke pisang yang lain akan tetapi setiap pohon pisang yang ia peluk semuanya pada kepanasan, mengering dan mati. Itulah sebabnya ada pisang yang kulit buahnya berwarna kemerahan saat masih muda ( belum masak ). Kalau tak salah namanya pisang udang.
Batu Bujang Budu sekarang ada disekitaran aek Kekalay pada bagian hilir dari aek Limeng), akan tetapi bagian pada bagian lengan sudah hilang. Konon menurut cerita rakyat sekitar, bagian tangan itu hilang dikarenakan ada seseorang yang sedang mandi disana, bapak/mamang tersebut terkejud melihat batu yang menyerupai bentuk manusia dan dikiranya ada orang yang mau berbuat jahat kepadanya. Lantas ia menarik parang dan memukul batu tersebut dengan bagian belakang sajam. Batu itu tidak sembarang dapat diketemukan kecuali pas ada yg tersesat. Bertemunya pun harus barengi dengan hujan panas ( konon ).
Pernah batu itu "diketemukan" oleh bung Dani ( Mukmin K), Har, Sali, Zulkarnain (alm) dkk yang sengaja mencari cari keberadaan "situs Bujang Budu, Dara Bengel". Cukup kreatif juga pemuda pemuda tempatan ini, memiliki sifat ingin tau yang sangat tinggi. Saat "menjelajah", mereka memang dihadang oleh hujan panas dan menemukan sebuah batu. Entahlah, apakah itu batu Bujang Budu asli atau tumpukan batu batu yang lain, lalu mereka abadikan. Anehnya saat negative film dicuci maka yang hanya tampak hanyalah poto poto berupa malam hari non bintang ( terbakar: kata orang orang bilang ). 😛
Mengenai Dara Bengel tidak ada tanda tanda yg menyerupai batu atau bentuk lain, bagian hikayatnya hanya sebatas memeluk pohon pisang saja, tiada bekas.
Entah dimana kini dirimu oh Dara Bengel ...
Jadi itulah sebabnya daerah tersebut dinamakan Bujang Budu oleh warga sekitar terutama dari kampung Mislak, mengapa? Tak lain Bahwa seorang yang bujang ( sebutan untuk anak laki laki, bisa pula nama panggilan dan nama asli maupun inisial) yang akhirnya menjadi teledor atau tergesa gesa saat akan makan maupun bertindak, akhirnya menjadi seorang yang budu ( bodoh ).
Jadi itulah sebabnya daerah tersebut dinamakan Bujang Budu oleh warga sekitar terutama dari kampung Mislak, mengapa? Tak lain Bahwa seorang yang bujang ( sebutan untuk anak laki laki, bisa pula nama panggilan dan nama asli maupun inisial) yang akhirnya menjadi teledor atau tergesa gesa saat akan makan maupun bertindak, akhirnya menjadi seorang yang budu ( bodoh ).
Tidak tau persis sejak kapan nama tempat ini dipopulerkan, namun sejak kami sadar menjadi bagian dari salah satu warga kampung ini, nama Bujang Budu ini sudah ada sejak zaman nenek moyang dikejar lanun.
Ini sebuah "legenda khusus", cerita rakyat yang disampaikan dari mulut kemulut sebelum tidur ( orang rua beande ande). Bisa pula bagian dari kisah nyata untuk mengingatkan sebuah "moment".
Jika tak ada hikayat Bujang Budu maka "TKP" Ini bisa saja bernama tikung patah sebab ada sebuah belokan tajam disana. Andai tiada cerita Dara Bengel maka bisa pula tempat ini bernama arung, dikarenakan disana ada jurang yang lumayan dalam dan entah sudah beberapa kendaraan khususnya roda 4 yang terjun bebas kesana tanpa permisi.
Bisa bernama bulu tali sebeb terdapat bambu rimbun subur yang dapat dijadikan pagar hias.
Hmmm ...dapat pula dapat bernama buah buahan segar sebab disekitar sanapun ( bukit) terdapat "peristirahatan terakhir" warga bernama perkuburah Belimbing...
Hikmah dari cerita ini agar: tidak terburu buru, tergesa gesa dalam menyikapi/ menindak lanjuti/ melaksanakan/ menjalani sebuah hal dan tindakan walau dalam keadaan urgent sekalipun termasuk: LAPAR.
Akhirnya, makan susah..tak makanpun payah.
Bagaimana dengan cerita yang anda terima dan bahaimana versi anda?
____________________
•Aek : air
•Bujang : panggilan anak laki-laki, nama.
•Budu : bodoh
•Dara : Daray: panggilan/ sebutan anak perempuan.
•Bengel: bodoh.
____________________
Berbelas tahun kemudian@red...
Begitu penulis pulang kampung dari tanah perantauan pada Juli 2015 tadi ( nuansa Romadhon-I'dhul fitri), Bujang Budu ini telah menjelma menjadi area perkebunan buah naga milik pak haji Rusdi A salah seorang pemuka/ tokoh warga setempat yang sangat dikenal dan disegani,
Disanapun terdapat kolam pemancingan ikan milik beliau dan rumah penduduk. Pada bagian sebelah barat ( arah kiri dari kota Pangkalpinang & Mentok), telah dibuka jalan tanah merah yang langsung terhubung ke Bukit Pajak - SD negri 6 desa Mislak kecamatan Jebus, dapat langsung menuju kampung Kerang dan desa Sungai Buluh via Pelempang putih dengan roda 2 maupun roda 6 yang seterusnya tanpa kendala untuk melanjutkan perjalanan menuju Bukit Kepurung, aek Medang, Rimbakpasir, Unar , Pebuar, kaki Meparik dan tentunya ke Bembang. ( Aek Bira, Pengkal Jemban, Aek Asem, Pengkal Derus dan Tanjung Genteng). Bukan main !
Penulis 2x menelusuri jalan tersebut pada puasa akhir di 1436 H sebelum berbuka puasa menyongsong datangnya adzan Maghrib bersama rasa rindu yang tak pernah usai sebelum kembali ketanah rantau ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar